Setiap diminta menjadi juri lomba Web SMK saya selalu merasa campur aduk antara senang dan sedih. Senang karena saya masih dipercaya ketemu dengan talenta2 muda, calon programmer web jenius di masa depan. Tapi sedih karena ada beberapa peraturan lomba web development yang bagi saya terlalu strict bahkan untuk seorang programmer.
- Tema sudah ditentukan dari awal
- Siswa berangkat dengan tangan kosong
- Melakukan coding di lab dengan komputer yang sudah disediakan panitia
- Dalam komputer hanya tersedia aset teks, visual, dan library jQuery
- Komputer yang digunakan tidak terkoneksi dengan Internet dan tentu saja tidak ada dokumentasi untuk dicontek.
Dus yang dilakukan peserta lomba adalah menghafalkan koding dan menuliskan kembali pada saat lomba. Tidak terlalu banyak ruang untuk berkreasi apalagi berinovasi. Padahal software development adalah proses menyusun pecahan kode untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, atau membangun sesuatu yang inovatif. Lebih jauh lagi software development modern tidak dibangun dari scratch file kosong, tapi dari biolerplate yang siap disusun ulang.
Teringat joke tahun lalu dimana Programming diartikan sebagai “art of googling and stackoverflowing”, yang maknanya hampir bisa dipastikan seorang programmer / developer itu membangun software dengan merangkai contekan-contekan yang tersebar di Internet, karena memang seperti itulah sebuah teknologi dibangun. Merangkai building block komponen teknologi yang telah dibuat sebelumnya oleh orang lain, mencontek ide, dan memodifikasinya untuk membangun sesuatu yang lebih bermanfaat, bukan dengan menghafal dan merenung di dalam kamar gelap terkunci.
Lalu apa efeknya?
Model penanaman pola pikir dengan peraturan lomba seperti itu akan menghasilkan siswa menjadi calon programmer yang sami’na wa atho’na tapi tidak kreatif. Efek terbesar adalah ketika siswa masuk ke dunia kerja akan mudah menolak pekerjaan yang membutuhkan ilmu baru dengan alasan “belum pernah diajarkan”, padahal sudah bukan rahasia lagi kalau teknologi yang diterapkan di dunia kerja selalu dua atau tiga langkah lebih maju dibandingkan teknologi yang dipelajari di sekolah.
Sering sekali ketika mengajar di kelas saya mengomparasikan dua teknologi, lalu memberikan sugesti bahwa teknologi B (yang notabenenya lebih baru) lebih mudah digunakan daripada teknologi A (yang sudah dipelajari dari SMK), kemudian memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk memilih antara dua teknologi tersebut. Dan bisa dipastikan, jawaban mayoritas adalah mahasiswa lebih memilih untuk menggunakan teknologi A, dengan alasan sudah pernah belajar & sudah ada contoh dari kakak kelas.
Saya khawatir jika pola ini terus berjalan, kita hanya akan memproduksi tenaga ahli yang tertinggal beberapa langkah dari pasar global dan hanya mampu beradaptasi mengembangkan software untuk tetangga sekitar. Kita akan mencetak generasi yang hanya mampu belajar itu-itu aja, dan tidak mau berkembang dari zona amannya.
So, entah saya akan dipanggil untuk menjadi juri lagi ataupun tidak, saya berharap pemegang kebijakan untuk memikirkan ulang peraturan lomba web development tingkat SMK dari memorizing driven menjadi problem solve driven. Dengan harapan lulusan SMK yang dihasilkan dapat menjadi generasi developer yang kreatif dan inovatif untuk Indonesia yang lebih maju.
Sebuah kata penutup guyonan dari temen saya “Mending ngapalin Al-Quran daripada ngapalin Koding”.